2012年5月31日木曜日

tukang dan arsitek

Tulisan uneg2 tentang tukang dan arsitek, uneg2 yang bila tidak dikeluarkan bisa meledak didalam, tapi bukan standar tertinggi sebuah kebenaran

---------------------------------------------------

Bekerja dengan otot, tidak sama dengan bekerja dengan otak. Bekerja dengan otot memerlukan keberadaan fisik dan kontak fisik dengan material. Bekerja dengan suatu keterampilan yang didapatkan dengan menyentuh, memperkirakan, mengukur, semua dengan fisika naluriah (perhitungan fisika yang diterapkan dalam gerakan, dan sebagainya). Untuk membelah batu, diperlukan sekian energi yang disalurkan melalui tangan, untuk menata bata diperlukan energi sekian untuk tepat.

Saat arsitek mendesain sebuah imajinasi beku yang disebut arsitektur, ia memperkirakan hasil akhir yang pada akhirnya harus diupayakan melalui pekerjaan fisik para tukang. Arsitek memotong jalur menuju realita melalui imajinasi dan kertas-kertas bergambar imajinasi yang membeku. Potongan gambaran realitas ini kemudian menjadi sebuah tuntunan, bahkan tuntutan, untuk dipenuhi dengan berbagai cara.



Para tukang memahami gambaran realitas yang disebut ‘gambar kerja’ ini seakan seperti sebuah dogma, yang harus diwujudkan melalui tangan tangan terampil mereka. Kadang gambar kerja hampir seperti sebuah kitab suci untuk proyek, semua bekerja berdasarkan kitab suci itu. Arsitek atau kontraktor yang datang ke proyek, menggunakan dogma itu untuk menata, membangun dan memperkirakan hasil jadi arsitektur.

Bekerja dengan tangan bagi para tukang adalah sebuah keniscayaan, bukan spekulasi, lebih banyak tukang beranggapan bahwa keterampilan cukup untuk membuat sesuatu yang terbangun, sesuatu yang bagi arsitek merupakan ‘tanpa perencanaan’. Namun bagi tukang sewaan di kampung-kampung, spekulasi adalah saat perencanaan bersama pemilik rumah atau bangunan saat akan menyewa tukang, maka arsitektur didefinisikan melalui keterampilan tangan yang setara dengan kerajinan tangan. “Seperti ini bagus, pak/bu”, kata tukang sambil berbicara dengan sesekali menggambar ala kadarnya, tidak dengan meja kerja, tidak dengan komputer.

Bagi tukang kampung, untuk mewujudkan arsitektur yang ‘baik’, atau ‘buruk’ kurang lebih seringkali adalah spekulasi. ‘Tahu benar’ akan material dan cara membangun adalah titik tolak para tukang ‘kampung’ untuk mendefinisikan sesuatu yang disebut ‘arsitektur’ entah bisa disebut demikian atau tidak -- cara membangun adalah inti dari arsitektur kampung. Arsitektur yang muncul adalah konsekuensi material ditambah cara memperlakukan material tersebut, minimal untuk menyerupai anggapan-anggapan non akademis tentang bangunan yang baik. Tidak ada jargon-jargon seperti ‘estetika’, ‘proporsi’, ‘harmoni’ dan sebagainya. Bagus adalah bagus, jelek adalah jelek, semua didefinisikan melalui satuan terkecil yaitu pekerjaan tangan.

Semakin lama, semakin modern, semakin tukang kehilangan kemampuan berarsitektur dengan cara-cara vernakular, untuk kemudian menjadi semakin modern -- artinya adalah semakin bekerja seperti mesin. Kolom kayu dengan ukiran dan detail sambungan yang langka tradisional digantikan oleh alumunium, besi dan beton buatan pabrik, untuk menjadi cara membangun berdasarkan presisi mesin, adalah konsekuensi dari industrialisme. Tukang kota berbeda dari tukang desa, dan tukang yang ikut sistem organisasi kontraktor modern berbeda dari tukang kampung. Tukang beradaptasi dengan kebutuhan, material dan cara membangun yang makin melicin. Tukang akan selalu berusaha memahami cara membangun dengan memahami cara memperlakukan material, mereka selalu ingin tahu dengan keberadaan material baru untuk memahami cara kerjanya.

Saat ada orang-orang yang merupakan jebolan perguruan tinggi dan disebut ‘perencana bangunan’, ‘kontraktor’ atau ‘arsitek’, para tukang cenderung merasa aman dari konsekuensi spekulasi mereka atas arsitektur apa yang mungkin timbul dari cara membangun. Sudah ada pihak yang disebut ‘arsitek’ atau ‘kontraktor’ untuk bertanggungjawab akan bagus atau jeleknya arsitektur. Anehnya arsitek juga merasa aman dari ketidaktahuan mereka dengan cara membangun. Bagi tukang-tukang, ungkapan yang tepat kurang lebih: Arsitek kebanyakan adalah seperti seorang dewa yang tiba-tiba jatuh dari entitas yang disebut ‘kuliahan’. Mereka bersayap dan hebat, dapat naik turun kahyangan untuk mendoktrinkan kitab suci mereka yaitu gambar kerja.

Arsitek disatu sisi keluar dari universitas untuk merasa mengetahui tentang desain, lalu untuk menyimpulkan bongkahan-bongkahan imajinasi dalam bentuk gambar. Tapi jarang mereka diajarkan di kampus untuk memegang pasir, menata bata, mencampur semen dan air. Mereka sibuk untuk merumuskan programatik, dan lebih parahnya sesuatu yang disebut bentuk. Facade, muka, topeng, depan, dalam, interior design, minimalis, klasik, mediterania, desain plafon, kursi malas, sofa, kabinet TV, perumahan, atap, dinding, lantai, kolam renang, pagar depan, pohon kamboja, rumput. Jargon-jargon yang akan mengantarkannya untuk ‘lebih mengetahui daripada sekedar tukang’, dengan cara menginjak pijakan yang lebih tinggi, namun tidak tahu cara berada dibawah, seperti memegang bata dengan serpihan debunya, kelilipan semen saat bekerja, atau memiliki baju yang kotor dengan debu bangunan.


------------------------------------

LAUT

"Laut, laut, laut!!" pekikan para tukang di proyek saat mereka selesai bekerja, setelah adzan ashar berkumandang sayup-sayup. Tepatnya di wilayah Malang, Jawa Timur, pekikan ini disuarakan oleh para tukang dengan lantang, setelah seharian bekerja. Suaranya bersahut-sahutan bak ayam berkokok pada permulaan hari. Sejenak, seperti melepaskan beban-beban saat bekerja selama seharian mengangkut, menata bata, mencampur adukan semen, mengecat, memasang genteng, dibawah sinar matahari yang terik. "Laut! Laut! Laut! Laut!".

Laut, bagi mereka bukanlah air di laut, bukanlah saat melihat pantai dan samudera, laut adalah ungkapan untuk momen setelah bekerja seharian. Ungkapan ini, diteriakkan dengan gembira, seperti sebuah perayaan untuk sehari bekerja, sebuah epilog yang mengakhiri proses bekerja. Sebuah masa istirahat setelah bersusah payah. Bagi orang awam, bila mendengar pekikan-pekikan ini mungkin agak heran mengapa mereka menyebut kata-kata ini.

Ini merupakan sebuah akhiran, 'to be concluded', penyelesaian sementara sebuah bab, untuk diteruskan esok harinya. "Laut" menjadi jeda, bahkan untuk mereka yang setelah bertukang masih harus mencari rumput untuk ternak mereka di desa, dimana bertukang dikota adalah sebuah 'temporary job' dan mendefinisikan sebuah hidup yang penuh peluh.


[Probo Hindarto]

0 件のコメント:

コメントを投稿

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...